Saturday, October 2, 2021

Review Bagus Film Serigala Langit

Ingatkah kamu film Indonesia tentang aksi pertempuran udara yang kali terakhir kamu tonton? Reka Wijaya dapat membantumu me-refresh-nya melalui Serigala Langit. Naskah film yang ‘dipiloti’ sutradara yang jarang muncul ini digarap oleh Titien Wattimena, penulis drama roman bersama seorang pendatang baru, Rifki Ardisha. Ceritanya sendiri disupervisi Reka dan Marsma TNI Fajar Adriyanto. Melalui penayangan via MAXstream, Serigala Langit diproduksi oleh Emotion Entertainment dan Indonesian Air Force dengan perpaduan drama keluarga, aksi, dan roman. Para pemerannya antara lain Deva Mahenra, Yoshi Sudarso, Anya Geraldine, Dede Yusuf, Dian Sidik, dan Yayu Unru. Melihat rekam jejak sang sutradara, bagaimana Reka mengarahkan para pemainnya yang menjadi bagian dalam tim besar bela negara?

Gadhing Baskara (Deva Mahenra) merupakan lulusan terbaik Sekolah Penerbangan. Atas rekomendasi Herman (Yoshi Sudarso), kakak asuhnya, dia berhasil masuk ke Skadron Udara 10 Serigala Langit. Namun baru sehari saja di markas, Gadhing yang polos sudah bermasalah dengan beberapa anggota lama tim. Usut punya usut, rupanya ia memiliki konflik yang belum tuntas dengan ayahnya. Sikapnya yang keras kepala, sukar mengindahkan aturan, dan suka melawan, memperparah semua persoalan itu. Bahkan hubungannya dengan Nadia (Anya Geraldine) pun sedikit memanas. Demi menenangkan diri agar dapat kembali mengudara, Gadhing harus menengok kembali permasalahannya yang belum tuntas.

Dapat terasa dengan baik paduan sejumlah unsur dalam Serigala Langit. Mulai dari ketegangan dalam pertempuran udara dan aksi tembak-menembak di daratan, drama dalam konflik keluarga (ayah-anak), hingga kisah romannya. Kisahnya tidaklah melulu menampilkan adegan penerbangan pesawat jet maupun pertempuran udara. Kisah Serigala Langit justru seolah mengembalikan esensi dari dasar-dasar penerbangan seorang pilot. Terdapat faktor-faktor psikologi dan sosiologi di sana. Juga hubungan antarsesama anggota tim.

Dari segi akting, Deva sebagai tokoh utama menunjukkan kepiawaian olah perannya. Meski plot cerita tidaklah berporos pada pengembangan karakter Gadhing semata. Namun, kurva perubahan sikap sang tokoh utama tetap dapat dilihat dan dirasakan dengan baik. Adegan-adegannya pun tak banyak yang membuang-buang waktu dengan menampilkan kejadian yang tak perlu. Durasinya pun jadi tak mubadzir hanya untuk diisi oleh plot-plot kecil beradegan singkat. Paling-paling hanya dua-tiga adegan saja yang tak terlalu penting adanya.

Di sisi lain, tindakan semacam pemampatan demi efektivitas durasi ini juga memengaruhi pemahaman penonton filmnya. Kisah yang tengah bergulir jadi terasa serba cepat. Juga dibarengi serentetan istilah, protokol, dan aturan ke-TNI AU-an yang tentu jarang bisa dipahami oleh khalayak awam. Beruntung elemen-elemen drama dan romannya menyediakan kesempatan untuk melandaikan kurva ketegangan. Walhasil, penonton jadi punya waktu untuk sedikit bersantai, sebelum kemudian menghadapi ketegangan berikutnya hingga film usai.

Kendati beragam adegan udaranya memberikan sensasi seru dan tegang, sayang sekali CGI-nya masih kurang halus di beberapa bagian. Memang, tidak melebihi batasan kasar hingga merusak banyak hal. Tetapi tetap saja “sedikit” mengusik kenyamanan. Termasuk untuk sebagian kecil momen luwes yang sebetulnya tak terlalu menuntut kecepatan gerak kamera. Mungkin demi mendapatkan angle yang bagus dengan framing yang tepat. Barangkali pula supaya selisih dengan visual segmen daratannya tak sampai anjlok, karena kualitasnya terpaut jauh. Tak jadi soal memang bila jalan keluarnya ialah CGI. Namun, paling tidak bisa lebih halus lagi.

Ihwal segmen daratannya sendiri, terkhusus di bagian konfrontasi antarsenjata apinya masih terlalu lembut, misalnya bila dibandingkan The East. Padahal itu merupakan momen panas antardua pihak yang berseteru. Di bagian yang lain dalam Serigala Langit ada pula unsur-unsur promosi. Bagian yang umumnya selalu ada dalam film-film yang berkaitan erat dengan lembaga bela negara. Film-film tentang kepolisian, macam Hanya Manusia dan Pohon Terkenal pun lebih-kurang demikian. Terakhir, masih ada satu-dua dialog yang sungguh aneh. Sebagian mengandung kalimat dengan diksi-diksi candaan yang basi, sebagiannya lagi diucapkan dengan pelafalan yang kaku. Singkat kata, lebih baik mereka ditiadakan saja.

Serigala Langit memikat dengan aksi pesawat tempurnya, yang dihadirkan lewat visual menegangkan dan suara ‘berisik’-nya. Meski masih terdapat beberapa bagian CGI dengan hasil yang patut disayangkan, namun sisanya boleh dibanggakan. Bantuan dari pihak TNI AU sendiri tentu tidaklah main-main dalam menyeriusi penggarapan Serigala Langit. Sebuah kemunculan yang tidak mengecewakan pula dari sutradara baru macam Reka dengan penulis debutan Rifki. Barangkali, Serigala Langit dapat menjadi salah satu dari sedikit film aksi pertempuran nondarat dengan dukungan yang memadai. Walau segmen manuver-manuver udaranya hanya ada di awal dan akhir, namun kehadirannya tetap istimewa. Mengingat pula, film-film pertempuan udara (juga laut) belumlah sebanyak darat –yang sebetulnya tidaklah banyak.